Jakarta (28/01) - Anggota Komisi IX DPR RI Herlini amran meminta Menakertrans untuk merevisi peraturan Permentran No.PER-17/MEN/VIII/2005 terkait penetapan UMK. KHL karena 46 komponen KHL sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan perkembangan saat ini. Karena komponenya untuk kondisi sekarang sudah melebihi 100 komponen.
“Sebagai perbandingan, kita bisa merujuk pada hasil kajian Akatiga di sembilan kota/kabupaten empat Propinsi pada 2008-2009 menunjukkan bahwa upah minimum belum mampu memenuhi kebutuhan hidup layak, bahkan pada buruh lajang. Bahkan menurut penelitian ini menyebutkan upah minimum baru memenuhi 62,4 persen pengeluaran riil buruh yang rata-rata 1,467 juta per orang. Jadi UMK yang saat ini berlaku di daearah-daerah memang sudah tidak layak lagi. Bayangkan, untuk menutupi kekurangan itu, buruh harus bekerja lebih lama (mengandalkan lembur), bekerja sampingan, menggabungkan penghasilan anggota rumah tangga lainnya, meniadakan konsumsi untuk barang-barang tertentu, dan berutang”, tegas Herlini.
Akatiga melihat setidaknya ada beberapa persoalan mendasar terkait dengan penerapan dan konsep upah minimum. Pertama, upah minimum yang seharusnya hanya berlaku untuk buruh lajang dengan masa kerja 0-1 tahun, ternyata diberlakukan juga untuk buruh dengan masa kerja hingga belasan tahun. Perbedaan upah antara buruh “baru” dengan buruh yang masa kerjanya sudah cukup lama, sangat kecil, hanya beberapa ribu rupiah.
Kedua, penelitian ini menemukan fakta bahwa 52 persen buruh sudah menikah dan memiliki tanggungan, 59 persen buruh lajang memiliki tanggungan selain dirinya sendiri. Dengan demikian, memberikan upah minimum yang didasarkan pada kebutuhan hidup buruh lajang berarti memaksa buruh untuk “berbagi kemiskinan”. Pada saat upah minimum belum mencapai 100 persen KHL, buruh masih harus membaginya dengan anggota rumah tangga lainnya.
Ketiga, 46 komponen KHL berdasarkan peraturan tersebut tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini. Penelitian ini menemukan bahwa setidaknya ada 163 komponen kebutuhan hidup yang harus dikonsumsi oleh buruh agar dapat hidup secara layak. Contoh komponen kebutuhan hidup yang pasti dikonsumsi (dibeli/dianggarkan dalam pengeluaran) oleh buruh tetapi tidak termasuk dalam KHL versi Permenaker 17/2005 antara lain setrika, sumbangan kemasyarakatan, dan biaya pendidikan anak untuk buruh yang sudah berkeluarga. Buruh juga membutuhkan rumah yang bersih dan sehat, sementara dalam komponen KHL, kebutuhannya dihitung hanya untuk kontrak kamar. Untuk perumahan, buruh seharusnya bisa memiliki rumah sekalipun tipe sederhana. Jadi, secara umum, dalam penelitian ini, kebutuhan hidup layak mengacu pada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi agar seorang pekerja dan keluarganya dapat hidup layak dan mampu mereproduksi kembali tenaganya sehingga menjadi lebih produktif.
“Dengan demikian tuntutan pekerja minta kenaikan UMK sama dengan KLH oleh buruh, kami nilai sangat realistis. Dalam permasalahan ini seharusnya pemerintah lebih berpihak kepada pekerja dan berusaha meyakinkan para pengusaha. Karena pemerintahlah seharusnya yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, pungkas Herlini.
http://www.pk-sejahtera.org/content/reformasi-permen-no-17-terkait-upah-minimum-karyawan
“Sebagai perbandingan, kita bisa merujuk pada hasil kajian Akatiga di sembilan kota/kabupaten empat Propinsi pada 2008-2009 menunjukkan bahwa upah minimum belum mampu memenuhi kebutuhan hidup layak, bahkan pada buruh lajang. Bahkan menurut penelitian ini menyebutkan upah minimum baru memenuhi 62,4 persen pengeluaran riil buruh yang rata-rata 1,467 juta per orang. Jadi UMK yang saat ini berlaku di daearah-daerah memang sudah tidak layak lagi. Bayangkan, untuk menutupi kekurangan itu, buruh harus bekerja lebih lama (mengandalkan lembur), bekerja sampingan, menggabungkan penghasilan anggota rumah tangga lainnya, meniadakan konsumsi untuk barang-barang tertentu, dan berutang”, tegas Herlini.
Akatiga melihat setidaknya ada beberapa persoalan mendasar terkait dengan penerapan dan konsep upah minimum. Pertama, upah minimum yang seharusnya hanya berlaku untuk buruh lajang dengan masa kerja 0-1 tahun, ternyata diberlakukan juga untuk buruh dengan masa kerja hingga belasan tahun. Perbedaan upah antara buruh “baru” dengan buruh yang masa kerjanya sudah cukup lama, sangat kecil, hanya beberapa ribu rupiah.
Kedua, penelitian ini menemukan fakta bahwa 52 persen buruh sudah menikah dan memiliki tanggungan, 59 persen buruh lajang memiliki tanggungan selain dirinya sendiri. Dengan demikian, memberikan upah minimum yang didasarkan pada kebutuhan hidup buruh lajang berarti memaksa buruh untuk “berbagi kemiskinan”. Pada saat upah minimum belum mencapai 100 persen KHL, buruh masih harus membaginya dengan anggota rumah tangga lainnya.
Ketiga, 46 komponen KHL berdasarkan peraturan tersebut tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini. Penelitian ini menemukan bahwa setidaknya ada 163 komponen kebutuhan hidup yang harus dikonsumsi oleh buruh agar dapat hidup secara layak. Contoh komponen kebutuhan hidup yang pasti dikonsumsi (dibeli/dianggarkan dalam pengeluaran) oleh buruh tetapi tidak termasuk dalam KHL versi Permenaker 17/2005 antara lain setrika, sumbangan kemasyarakatan, dan biaya pendidikan anak untuk buruh yang sudah berkeluarga. Buruh juga membutuhkan rumah yang bersih dan sehat, sementara dalam komponen KHL, kebutuhannya dihitung hanya untuk kontrak kamar. Untuk perumahan, buruh seharusnya bisa memiliki rumah sekalipun tipe sederhana. Jadi, secara umum, dalam penelitian ini, kebutuhan hidup layak mengacu pada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi agar seorang pekerja dan keluarganya dapat hidup layak dan mampu mereproduksi kembali tenaganya sehingga menjadi lebih produktif.
“Dengan demikian tuntutan pekerja minta kenaikan UMK sama dengan KLH oleh buruh, kami nilai sangat realistis. Dalam permasalahan ini seharusnya pemerintah lebih berpihak kepada pekerja dan berusaha meyakinkan para pengusaha. Karena pemerintahlah seharusnya yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, pungkas Herlini.
http://www.pk-sejahtera.org/content/reformasi-permen-no-17-terkait-upah-minimum-karyawan
0 komentar:
Posting Komentar